Dracin Populer: Ia Mencintaiku Seperti Menyentuh Api — Hangat, Tapi Mematikan
Ia Mencintaiku Seperti Menyentuh Api — Hangat, Tapi Mematikan
Lorong istana itu sunyi, senyap membekukan tulang. Hanya rembulan pucat yang mengintip malu-malu dari balik kisi-kisi jendela, memantulkan cahayanya pada lantai marmer yang dingin. Di ujung lorong, berdiri seorang pria. Bukan, bukan seorang pria. Dia adalah bayangan dari masa lalu, hantu yang kembali dari kubur. Pakaiannya compang-camping, tapi aura keagungan masih terpancar kuat. Wajahnya, meski dipenuhi bekas luka, masih menyimpan ketampanan yang dulu membuat para selir istana tergila-gila. Ini adalah Pangeran Lian, yang dinyatakan tewas sepuluh tahun lalu dalam pemberontakan berdarah.
"Kau… kau kembali," bisik Permaisuri Hua, suaranya bergetar. Dia berdiri di hadapan Lian, gaun sutranya berkilauan di bawah cahaya bulan. Matanya, yang dulu dipenuhi cinta dan harapan, kini hanya memancarkan ketakutan.
Lian tersenyum tipis, senyum yang tak mencapai matanya. "Kembali untuk menagih hutang, Permaisuri." Suaranya lembut, tapi kata-katanya setajam pedang.
"Hutang apa? Aku tidak berhutang apa pun padamu!" bantah Permaisuri, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Lian mendekat, langkahnya ringan namun penuh ancaman. "Benarkah? Bagaimana dengan janji yang kau ucapkan di bawah pohon persik itu? Janji untuk selalu mendukungku, untuk berdiri di sisiku, bahkan jika seluruh dunia menentang?"
Permaisuri Hua terdiam. Kenangan masa lalu menghantamnya seperti ombak ganas. Pohon persik yang mekar penuh, suara tawa muda, dan janji-janji yang terucap dengan tulus. Semuanya tampak begitu jauh, begitu naif.
"Kau tahu apa yang terjadi," bisik Permaisuri akhirnya. "Aku harus melindungi diri sendiri. Aku harus bertahan hidup."
"Bertahan hidup dengan mengkhianatiku? Dengan membiarkan aku dikhianati oleh mereka yang seharusnya setia?" Lian mengangkat tangannya, menyentuh pipi Permaisuri. Sentuhannya lembut, hampir seperti belaian, namun membuat Permaisuri menggigil. "Kau mencintaiku, Hua, aku tahu itu. Tapi cintamu… cintamu seperti menyentuh api. Hangat, tapi mematikan."
"Aku… aku tidak punya pilihan!" air mata mulai mengalir di pipi Permaisuri. "Aku mencintaimu lebih dari apa pun, tapi kekuasaan…"
Lian melepaskan sentuhannya. "Kekuasaan… Kau selalu menginginkannya, bukan? Bahkan sebelum kau bertemu denganku. Kau menggunakan cintaku, menggunakan kesetiaanku, untuk mencapai tujuanmu."
Permaisuri Hua menatap Lian dengan putus asa. "Itu tidak benar! Aku…"
Lian memotong perkataannya. "Kau pikir aku tidak tahu? Aku tahu sejak awal. Aku melihatnya di matamu, di setiap gerakanmu. Aku tahu kau hanya memanfaatkanku."
Permaisuri Hua terisak. "Kenapa? Kenapa kau tidak menghentikanku?"
Lian tersenyum getir. "Karena aku mencintaimu, Hua. Aku terlalu mencintaimu. Aku rela memberikan segalanya untukmu, bahkan nyawaku sendiri." Dia berbalik, berjalan menuju pintu keluar. "Tapi sekarang… sekarang hutangmu sudah lunas."
Saat Lian menghilang di balik bayangan, Permaisuri Hua berlutut di lantai, menangis tersedu-sedu. Dia kira dia yang memegang kendali, dia kira dia yang menang. Tapi dia salah. Lian, sang korban, ternyata adalah dalang dari seluruh permainan ini. Dia membiarkan dirinya dikorbankan demi melihat sejauh mana Permaisuri Hua akan pergi.
Di kejauhan, terdengar suara burung hantu memecah kesunyian malam. Sebuah peringatan, sebuah pertanda buruk. Permaisuri Hua akhirnya mengerti. Dia tidak pernah menang. Dia hanyalah bidak dalam permainan yang jauh lebih besar, permainan yang Lian rancang dengan sangat cermat. Dan sekarang, gilirannya untuk membayar.
Lian tidak kembali untuk merebut tahta. Ia kembali untuk merebut jiwanya.
You Might Also Like: Unleash Power Of Wet Forget